Terkait Piutang BUMN, DPR Nilai Putusan MK Tidak Mutlak
Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Azis menilai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak bisa dijadikan ketetapan hukum karena hanya menghapus peran Panitia Lelang Penjualan Aset Negara. Iamenyatakan putusan MK terkait piutang Bank BUMN tidak berdasar karena aturan pengelolaan aset ada di tangan pemerintah.Pada prinsipnya, pengelolaan aset negara harus dilakukan pemerintah dan instansi terkait.
Pada 25 September tahun lalu, MK memutuskan PUPN (Panitia Urusan Piutang Negara) tidak lagi berwenang menagih piutang BUMN. MK menilai BUMN merupakan badan usaha yang memiliki kekayaan terpisah dari keuangan negara. Oleh karena itu, kewenangan pengurusan kekayaan, usaha, termasuk penyelesaian utang-piutang BUMN tunduk pada UU No 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (PT).
"Ini tidak bisa, dan tidak bisa dijadikan ketetapan hukum karena tidak selaras dengan landasan hukum, jika membatalkan bisa, tetapi keputusan MK tidak bisa membuat UU baru," kata Harryusai rapat dengan Direksi Bank-bank BUMN dan Himpunan Bank-bank Milik Negara (Himbara) di Gedung Nusantara I, Kamis sore (11/04).
Politisi dari Golkar ini menegaskan, pada dasarnya putusan MK itu hanya membatalkan beberapa pasal di UU No. 49/1960 tentang Piutang Negara dan Piutang Daerah. Berdasarkan keputusan itu, pengurusan piutang BUMN tidak perlu lagi melalui PUPN.
Namun sejauh ini bank-bank BUMN menyimpulkan putusan putusan MK atas perkara No: 77/PUU-IX/2011 tanggal 25 September 2012 sebagai perintah hukum bahwa piutang bank BUMN bukan lagi merupakan piutang negara yang harus dilimpahkan ke Panitia Urusan Piutang Negara.
"Korporasi (perusahaan BUMN) tentu harus tunduk pada UU BUMN. Jelas ditegaskan di dalam UU itu bahwa pemegang saham perusahaan adalah Menteri Keuangan dan kuasa pemegang sahamnya adalah Menteri BUMN. Jika MK menilai penghapusan piutang negara bisa dilakukan oleh korporasi, hal ini secara jelas melanggar UU BUMN.," tegas Harry.
Berpotensi Tindakan Korupsi
Harry menyatakan, selama belum adanya perubahan UU dalam Pengelolaan Aset dan Negara, maka ketetapan MK tidak bisa menganulir keputusan terdahulu. Jika Bank-bankBUMN tetap melakukan pemutihan piutang, para jajaran direksi bisa berpotensi sebagai tindakan pidana.
"Jika bank BUMN menghapustagihkan piutang senilai Rp 73 triliun (Bank Mandiri, BRI, BTN dan BNI), maka mereka akan menanggung risikonya. Kalau mereka salah menilai keputusan Mahkamah Kostitusi (MK), maka mereka bisa dianggap korupsi, karena menghilangkan kekayaan negera secara tidak sah, mengingat belum ada dasar hukumnya," tegas Harry.
Sementara itu, Ketua Himbara Gatot M Suwondo mengatakan, sampai saat ini, bank-bank BUMN belum mengeksekusi hapus tagih kredit macet karena guidance pelaksanaan masih dalam tahap perampungan.
“Kami paham bahwa aset bank BUMN bukan aset direksi, hanya saja seyogyanya ini dapat dikelola sebagai aset korporasi. Kami juga mengharapkan dan memohon bantuan kepada Komisi XI untuk menyelaraskan seluruh undang-undang terkait pengelolaan bank BUMN. Jadi, tidak ada lagi multitafsir dan kontradiksi pelaksanaan peraturan perundang-undangan,” ujar Gatot. (sf)foto:iwan armanias/parle.l